Archive for September 2018
Pada awalnya kesenian ini dkembangkan oleh komunitas santri. Gajah-gajahan memang diciptakan bukan sebagai kesenian ritual, namun adalah hanya sebagai kesenian untuk menghibur masyarakat. Selain itu juga memiliki fungsi merekatkan persaudaraan antar kalangan masyarakat santri.
Kesenian Gajah-gajahan yang dikembangkan kalangan santri saat itu di Ponorogo memang awal mulanya dilatar belakangi sebuah rebutan kuasa politik, lewat instrumen kebudayaan. Reog yang saat itu mendarah daging bagi masyarakat ponorogo memang menjadi sarana komunikasi yang efektif bagi rakyat.
Kemunculan Gajah-gajahan yang merupakan kesenian beridentitas Islami ini benar-benar mendapatkan tempat didaerah ini. Kesenian ini muncul sesudah tahun 1965. Kesenian yang khusus keberadaannya dari ponorogo semata ini tampil mengandalkan alat musik dari jedor, kendhang, dan kompang. Pada akhir tahun1960-an antara seniman reog dengan gajah-gajahan tidak bisa akur. Tidak diketahui mengapa ada persekutuan antara seniman gajah-gajahan dengan reog saat itu....
Pada saat pertunjukan dimulai, patung gajah diangkat oleh dua orang yang masuk kedalamnya dan dinaiki oleh seorang bocah kecil yang bumumnya perempuan, didandani seperti seorang jathil sambil diiringi oleh pemusik dibelakangnya. Pemusik membawa alat-alat musik berupa jedor, gendang, kentonganma atau alat-alat musik lainnya.
Asal mula kesenian Gajah-gajahan
Kesenian jaranan/kuda lumping asal mulanya diangkat dari dongeng masyarakat kediri, tepatnya pada masa kerajaan Ngurawan. Konon sang raja, Prabu Amisetyo memiliki anakyang sangat cantik rupawan bernama Dyah Ayu Songgolangit yang terkenal sejagar raya. Hingga banyak sekali raja-raja diluar sana yang ingin mempersuntingmya.
Dyah Ayu Songgolangit memiliki adik yang bernama Raden Tubagus Putut dan sedamg mengabdi di kerajaan Bantar Angin yang dipimpin oleh Prabu Klono Swandono, berkat kepiawainya dalam hal keprajuritan akhirnya Raden Tubagus diberi gelar Patih Pujangga Anom. Karena kecantikan Dewi Songgolangit terdengar sampai ke kerajaan Bentar, Prabu Klono Swandono mengutus Prabu Pujangga Anom melamarkan Dewi Songgolangit untuk dirinya.
Sebelum berangkat Pujonggo Anom memohon petunjuk kepada sang Dewata agar dirinya dirinya tidak diketahui oleh ayah dan kakaknya .. dan sampailah ia ke kerajaan Ngurawan... dan ternyata sudah banyak berdatangan para pelamar, diantaranya Prabu Singo Barong dari Lodyo didampingi sang patihnya Prabu Singo Kumbang.
Dan pada akhirnya Dewi Songgolangit membuat sebuah sayembara... yang isinya bahwa yang boleh mempersunting dirinya yang dapat membuat tontonan yang belum pernah ada dibumi ini dan apabila digeelar akan meramaikan jagat raya.
Sampailah berita itu ke Prabu Klono Swandono... Kemudian ia meminta petunjuk dan didapatkannya sepotong bambu, lempengan besi, dan sebuah campuk yang diberi nama pecut samandiman... dan dari bambu itulah sebuah kuda kepang sebagai lambang sebuah titian... dan dari besi dibuat semacam tetabuhan.....
Singkat cerita Prabu Klomo Swandono beserta Patih Pujonggo Anom dan prajuritnya memenuhi persyaratan untukmempersunting Dewi Songgolangit, mereka berangkat dengan iring-iringan pertunjukan itu dan menjadi tontonan masyarakat kediri dan mulai saat itulah dinamai dengan JARANAN....
sejarah kesenian jaranan KEDIRI
Jaranan Pegon berasal dari kata ‘pego’ atau tidak jelas, karena jenis Jaranan ini memang mengadopsi penampilan gerak dan kostum bersumber dari Wayang Orang, khususnya gaya Surakarta. Sungguhpun perkembangannya sudah tidak lagi seperti perkumpulan yang muncul pada awalnya 1960-an. Penampilan penari jaranannya selalu menggunakan kostum Bambangan (jenis satria) yang selalu tampil berdua.
Musik Jaran Pegong tergolong lengkap, tidak seperti jenis Jaranan yang lain. Hal ini karena pengaruh yang kuat dari Wayang Wong. Munculnya Jaran Pegong ini, sebenarnya dikerenakan mulai surutnya minat masyarakat tarhadap Wayang Wong Panggung. Sehingga banyak anggota perkumpulan Wayang Orang yang turun ke masyarakat di kampung-kampung untuk mengamen. Salah satu penampilan Jaran Pegong dapat diperhatikan sebagai berikut:
- Judul Penyajian : Pemburu Celang
- Nama organisasi : Kudo Pradonggo
- Penata Tari : Gimun
- Penata Musik : Nanang
- Penata Rias & Busana : Suyono
- Judul Penyajian : Satria Putra Kencana
- Nama organisasi : Turonggo Kencono Unmgu
- Penata Tari : Ardi
- Penata Musik : Ardi
- Penata Rias & Busana : Sugeng Uripan
Tarian ini menggambarkan 4 prajurit kerajaan yang sedang menunggang kuda dengan gagah berani,
Kepergiaan para prajurit tersebut adalah untuk membasmi pemberontak yang berupa seekor Naga
Rasaksa.
Sebelum 4 prajurit berkuda tersebut dapat menemui sang Naga (Singo Barong) di tengah jalan mereka di hadang oleh anah buah Singo Barong yang berupa Celeng. Dengan gagah berani, 4 prajurit tersebut dapat mengalahkan sang celeng, bahkan kemudian juga dapat menaklukan sang Naga, bahkan kemudian prajurid sang Naga juga dapat disajukan untuk membangun negara yang gemah ripah loh jinawi.
masuknya tokoh-tokoh satwa berupa Babi dan Singa. Perlu diperhatikan, bahwa jenis Jaran Pegong sebenaranya berupa jenis Jaranan yang menari, yaitu lebih menonjolkan pola gerak seperti bentuk ‘kiprahan’. Jika ingin dikreasikan atau digarap, maka cerita yang ditampilkan dapat berupa bentuk pengembaraan satria yang sedang melamar putri di sebuah kerajaan, atau bentuk cerita kesejarahan. Tetapi tidak melibatkan tokoh-tokoh yang berasal dari tradisi ‘totemistik’.
Jaranan Pegon
Sejarah munculnya Reog Ponorogo ini adalah mengenai pemberontakan Ki Ageng Kutu yang merupakan seorang abdi dari kerajaan pada masa Bhre Kertabumi, yang merupakan raja dari Majapahit yang terakhir dan berkuasa pada abaf ke-15. Ki Ageng Kutu marah melihat tingkah laku raja yang terpengaruh oleh teman yang berasal dari negara cina. Karena pengaruh kawannya yang sangat kuat tersebut sang Raja melalaikan tugas nya sebagai kepala negara sehingga kerajaan menjadi korup. Ki Ageng Kutu merasa bahwa kerajaan majapahit akan segara berakhir.
Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni REOG, yang merupakan "sindiran" kepada Raja Bhre kertabumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat local menggunakan kepopuleran Reog.
Ada beberapa penari/Tokoh dalam kesenian Reog ini :
1. Tari JHATILAN
JHATILAN adalah kesenian yang mengisahkan perjuangan Raden Patah dibantu Sunan Kaijaga dalam melawan penjajahan Belanda. Sebagaimana yang kita ketahui, Sunan Kalijaga adalah sosok yang acap menggunakan budaya, tradisi dan kesenian sebagai sarana pendekatan kepada rakyat. maka cerita perjuangan dari Raden Patah itu digambarkan kedalam bentuk seni tari jathilan. Jathilan juga dikenal dengan nama kuda lumping, kuda kepang, ataupun jaran kepang. Aksesoris yang digunakan adalah menggenakan gelang tangam dam kaki, ikat pada lengan, kalung, menyengkelit keris, dan menggunakan mahkota yang acap disebut "Kupluk Panji".
2. BUJANG GANONG
Bujang Ganong adalah adik seperguruan dari Klonosewandono yang kemudian mereka bertemu kembali dan bersatu, mendirikan kerajaan Bantarangin. Klonosewandono sebagai raja dan Bujang ganong sebagai Patihnya. Secara fisik Bujang ganong digambarkan bertubuh kecil, bermuka buruk, berhidung besar mata bukat besar melotot, bergigi tonggos, dan berambut panjang gimbal.
Bujang ganong adalah salah satu tokoh dalam seni reog. Sosok yang kocak sekaligus mempunyai keahlian lebih dalam seni bela diri. Bujang ganong menggambarkan aoaok seorang patih muda yang cekatan, cerdik, berkemauan keras, jenaka, dan sakti.
3. WAROK
Warok adalah pasukan yang bersandar pada kebenaran dalam pertarungan anatara kebaikan dan kejahatan dalam cerita kesenian reog. Warok adalah sosok dengan stereotip: Memakai kolor, berpakaian hitam-hitam, memiliki nkesaktian dan gemblakan. Warok bukamlah orang yang takabur karena kekuatan yang dimilikinya. Warok adalah orang yang mempumyai tekat suci, siap memberikan tuntunan dan perlindungan tanpa pamrih.
sejarah kesenian reog ponorogo
Penari celeng keluar dari lorong sempit berbatas pagar dibarat rumah, satu persatu penari celeng mereka menuju kalangan lingkaan yang dikerumuni penonton. Polah tingkahnya seperti celeng, Babi hutan pemangsa tanaman. Anyaman bambu mirip tepas (kipas) bercat hitam bergambar celeng dikempitnya. suara klinting (lonceng kecil) yang ditempel pada anyaman bambu tersebut bergemelinting mengikuti kaki penari. Semakin lama tempo gamelan semakin cepat, dan setelah menari celeng itu menepi. celeng dalam seni thek ini adalah melambangkan keserakahan, ketamakan, kesewenang-wenangan.
Sedangkan suara letupan jederan menggelegar, seperti pengembala yang sedang mengembala ternaknya. Topeng besar berbentuk naga keluar dari lorong barat rumah. Mulutnya menjulur dan berkali kali ditutup dengan cepat seakan menelan mangsa yang lebih kecil.
Penari jaranan kepang keluar setelah penari caplokan. Jumlah penarinya 4, keluar satu persatu. Penari pertama lembut dan penari selanjutnya semakin kasar.